Posted in

Bebaskan empat aktivis politik Papua di Sorong yang ditangkap atas tuduhan makar • Amnesty International Indonesia

## Represi Politik dan Kekerasan di Papua: Amnesty International Kecam Kriminalisasi Aktivis dan Pelanggaran HAM di Intan Jaya

Amnesty International Indonesia mengecam keras penangkapan dan penetapan empat aktivis politik Papua sebagai tersangka makar oleh Kepolisian Kota Sorong. Keempat aktivis, yang merupakan anggota Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB), ditangkap setelah menyampaikan aspirasi politik secara damai, menunjukkan peningkatan represi terhadap kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil di wilayah tersebut. Selain itu, Amnesty International juga mengutuk keras kekerasan bersenjata di Intan Jaya yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil.

**Kriminalisasi Aktivis Papua: Pembungkaman Suara Damai?**

Pada tanggal 5 Mei 2025, Kepala Kepolisian Resor Sorong Kota mengumumkan penangkapan AGG, PR, MS, dan NM, semua pengurus NFRPB. Keempat aktivis tersebut diduga mengunjungi sejumlah kantor pemerintahan di Papua Barat Daya pada 14 April 2025, termasuk Kantor Wali Kota Sorong, Kantor Gubernur Papua Barat Daya, Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, Ditpolairud Polda Papua Barat Daya, dan Polresta Sorong Kota. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk menyampaikan surat dari presiden NFRPB terkait ajakan perundingan damai. Laporan media menyebutkan mereka juga menyerukan “Papua merdeka” selama kunjungan tersebut.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyatakan keprihatinan mendalam atas penangkapan ini. “Kriminalisasi empat aktivis politik Papua ini menunjukkan negara terus merepresi hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul bagi Orang Asli Papua,” ujar Wirya. “Mereka ditangkap hanya karena menyampaikan aspirasi politik secara damai, tanpa kekerasan. Ekspresi damai dijamin oleh Konstitusi dan bukanlah tindak pidana. Tuduhan makar dan ujaran kebencian yang dilayangkan polisi terhadap mereka merupakan upaya membungkam ekspresi politik orang Papua, padahal ekspresi tersebut dilindungi UUD 1945 Pasal 28E.”

Kepolisian telah memeriksa lima saksi dan mengamankan 18 dokumen terkait NFRPB, termasuk pakaian dinas yang menyerupai atribut kepolisian dan militer, serta identitas keanggotaan organisasi. Keempat tersangka dijerat dengan pasal-pasal makar dan ujaran kebencian, yakni Pasal 106 KUHP Junto Pasal 187 KUHP junto Pasal 53 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 45 Huruf A ayat (2) junto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 dan atau Junto Pasal 56 ayat (1) ke 1 KUHP. Ancaman hukuman yang dihadapi para tersangka sangat berat, yaitu 20 tahun penjara bahkan seumur hidup. Amnesty International mendesak Kepolisian Kota Sorong untuk segera membebaskan keempat aktivis tersebut tanpa syarat.

**Kekerasan di Intan Jaya: Investigasi Mendalam Diperlukan**

Selain kasus kriminalisasi aktivis, Amnesty International juga mengecam keras insiden kekerasan bersenjata di Intan Jaya pada 13 Mei 2025. Laporan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Gereja Kemah Injil menyebutkan operasi militer di tiga kampung di Kabupaten Intan Jaya telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil. Setidaknya tiga warga sipil meninggal dunia, seorang anak kecil berusia tujuh tahun dan seorang perempuan dewasa mengalami luka-luka akibat terkena serpihan peluru. Sebanyak 950 warga jemaat dari 13 gereja dilaporkan mengungsi.

“Kami menuntut agar dilakukan investigasi yang mendalam dan independen terhadap insiden ini untuk memastikan pertanggungjawaban atas jatuhnya korban sipil,” tegas Wirya. “Penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban dari berbagai pihak, termasuk Orang Asli Papua, non-Papua, dan aparat keamanan itu sendiri. Refleksi tajam atas strategi keamanan di Tanah Papua sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.”

Amnesty International menekankan bahwa organisasi ini tidak mengambil posisi apa pun terkait status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan. Namun, Amnesty International tetap berpegang teguh pada prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk secara damai mengekspresikan pandangan atau solusi politik seseorang. Organisasi ini mendesak pemerintah Indonesia untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara, termasuk Orang Asli Papua.

**Kata Kunci:** Amnesty International, Papua, Papua Barat Daya, Intan Jaya, Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB), makar, ujaran kebencian, kebebasan berekspresi, pelanggaran HAM, operasi militer, korban sipil, investigasi, hak asasi manusia.
© 2025 Amnesty International Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *